Minggu, 25 Oktober 2015

Nama : Mochamad Iqbal Tawakal
NIM : 1571501152
Kel : YB
Pelajaran : Perkembangan ICT
Dosen : Dudi Sabil Iskandar

RANGKUMAN BUKU “KERUNTUHAN JURNALISME”
KARYA : DUDI SABIL ISKANDAR






Kata Pengantar
Buku ini hanyalah sepenggal kekhawatiran; seonggok ketakutan; segumpal kekecewaan terhadap dunia jurnalisme, kini. Dunia yang pernah penulis geluti sekitar 12 tahun; ladang yang pernah diakrabi selama lebih satu dasawarwa. Dalam potretan penulis, dunia yang digadang-gadang sebagai keempat pilar demokrasi diambang kehancuran . Jurnalisme sedang mengalami krisis multidimensi yang menghantam semua stakeholders mulai dari pemilik, wartawan, dan pembacanya.
Prolog
Apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia Jurnalisme kita saat ini? Tengoklah pertarungan media pada pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2014.Mereka terbelah secara tajam dan sarkatis, bahkan mengarah ke konflik.Tidak ada lagi penghargaan terhadap profesi agung dan mulia bernama wartawan; Etika jurnalistik hanya bahasa di lanit; kode etik dibuang ke tong sampah; nilai berita diinjak.
Atau saksikanlah puluhan tayangan infotainment sebuah istilah yang salah kaprah, tidak pernah dikenal dalam dunia jurnalisme dan terus dipakai oleh media kita, baik media elektronik maupun media cetak setiap harinya.Publik disuguhi tayangan yang tidak mendidik.Mencampakkan common sense.Jauh dari mencerahkan.
Bill Kovach dan Tom Rosentiels membuat sembilan elemen dasar mutu jurnalisme.Pertama, kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran.Kedua, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara. Ketiga, kebenaran dan keberpihakan  yang merupakan buah dari disiplin dalam melakukan verifikasi fakta. Keempat, jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya.Kelima, memantau kekuasaan dan menyambung ialah yang tertindas.Keenam, jurnalisme harus memberi forum bagi public untuk saling kritik dan menemukan kompromi.Ketujuh, jurnalisme harus memikat dan relevan.Kedelapan, kewajiban jurnalis adalah menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif.Kesembilan, jurnalis diperbolehkan untuk mendengarkan hati nuraninya.


BAB I
Indikator Keruntuhan Jurnalisme
A.    Jurnalisme Bias
Harus diakui kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau yang diakrab disapa Jokowi, nik dan fenomenal. Unik karena gaya kepemimpinan yang ditampilkan berbeda dengan mayoritas kepemimpinan yang ditampilkan berbeda dengan mayoritas kepemimpinan yang ada mulai tingkat presiden, gubernur, walikota, hingga bupati.
Jokowi menjadi oase di tengah kelelahan masyarakat bawah yang berharap memilikki pemimpin yang bisa memperbaiki taraf kehidupan mereka.Kepemimpinan bersih Jokowi menyeruak di tengah-tengah ratusan kepala daerah yang terjerat korupsi.Bersama wakil gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Jokowi mempublikasikan penghasilan sebagai pejabat negara melalui media social.Public bisa mengontrol dan mengkritisnya.Karena memiliki banyak nilai berita, Jokowi secara pribadi, Gubernur DKI Jakarta ataupun sebagai kader partai, selalu dikejar media.Ia pun memperoleh citra dan pecintraan postitif selama 24 jam secara gratis. Sejak menjabat gubernur, tahun lalu, nyaris tidak pernah ada berita miring/negatif tentang Jokowi. Bahkan, ketika banjir besar melanda ibu kota, sampai masuk ke Istana Negara, media memakluminya.
Dalam konteks inilah bius keunikan dan kehebatan Jokowi menimbulkan bias media. Terhadap Jokowi, media lupa fungsi utamanya sebagai WatchDog. Sesungguhnya media sudah dimabuk kekuasaan.
B.     Jurnalisme dan Amplop Besar
Pada duamilist institusi wartawan yang berbeda tertera ‘undangan mengambil THR’ di salah satu instansi pemerintah.Tentu saja ada yang tertawa senang, ada yang mencibir dengan geram, ada yang mengkritik.Pun, tentu saja ada yang menyambutnya.Singkat kata di dua milist tersebut terjadi pro dan kontra.Inti dari isi milist tersebut adalah institusi pemerintah tersebut menyediakan THR untuk wartawan yang berttugas atau sehari-hari meliput kegiatan di institusi pemerintah itu.Inilah yang penulis disebut sebagai amplop kecil; recehan.
Pengusaha media adalah pengusaha yang bukan orang sabar dalam berinvestigasi jangka panjang tetapi yang mencari keuntungan secepatnya dengan memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan.Dekat dengan kekuasaan dekat dengan sumber dana/keuangan. Untuk dekat kekuasaan politik perlu memiliki dalam bentuk kekuasaan lain. Hari ini, kekuasaan lain yang sangat kuat adalah media. Oleh sebab itu jika kekuasaan politik dengan kekuasaan media bersatu, bersinergis, maka uang dengan sendirinya akan mengalir. Inilah rumus sederhana pengusaha media.Inilah yang penulis sebut dengan amplop besar.Jumlahnya tak terhitung; tidak ada batasnya; tidak ada serinya.
C.    Jurnalisme dan Budaya Copy Paste
Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi transportasi menyebabkan percepatan dan kecepatan dalam segala hal termasuk dalam dunia jurnalisme, khususnya berkaitan dengan produk berita di berbagai media.Komunikasi dan informasi berkembang kearah pengelembungan, yang menciptakan masyarakat kegemukan; kegemukan informasi, komunikasi, tontonan, berita dan data.
Dalam konteks jurnalisme, misalnhya, percepatan dan kecepatan produksi berita telah mengubah alur berita dan kinerja bagi kru redaksi dan hasil berita bagi masyarkat.Pertumbuhan media online atau situs berita bak jamur di musim hujan telah memunculkan masalah baru.Problem tersebut kemudian menjadi penyakit kronis yang kini mulai membudaya dalam jurnalisme, yakni budaya salin dan tempel (copy paste). Di sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi juga mengakibatkan wartawan menjadi pemalas. Untuk apa memverifikasi fakta, mengejar narasumber yang kualifaid, dan mendatangi tempat kejadian perkara, jika semua persyaratan kejadian menjadi sebuah berita bisa diselesaikan melalui teknologi komunikasi dan informasi seperti Telepon, SMS, BBM, Whatsapp, Telegram dan seterusnya.
D.    Jurnalisme Pembuat Heboh
Menurut Burhan Bungin, ada empat tahapan kelahiran konstruksi social media massa. Yaitu, penyiapan materi konstruksi, sebaran konstruksi, pembentukan konstruksi realitas, dan konfirmasi.Dalam konteks hari ini, kehadiran dan penggunaan internet yang sangat massif dan mengglobal, penulis memandang sebagai datangnya sebuah era baru.Setiap individu bisa menciptakan realitas sendiri. Ke depan bukan hanya institusi media yang membuat heboh, tetapi kita pun bisa membuat heboh sendiri. Oleh sebab itu, kehadiran internet harus diterima dengan afirmasi kritis.Penciptaan dan perkembangan isu di dunia maya harus tetap dipandang dengan landasan etika.Hanya dengan begitu internet berdaya guna salah satunya – membangun keterbukaan informasi untuk publik.
E.     Jurnalisme Tanpa Konfirmasi
Apa itu verifikasi fakta? Lagi-lagi jika mengacu pada dua mbah jurnalisme Kovach dan Rosentiels. Keduanya mengatakan ada lima indikator dalan verifikasi fakta. Yaitu:
1.      Wartawan jangan menambah atau mengurang apa pun,
2.      Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, bersikaplah transparan,
3.      Sejujur mungkin tentang metode dan motivasi,
4.      Bersandarlah terutama pada reportase sendiri, dan
5.      Bersikaplah rendah hati.
F.      Jurnalime, Adakah Etika?
Secara filosofis, jurnalisme harus tetap berpijak pada prinsip kebenaran, independensi, check and balance, cover all (multi sides), verifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang sehat dan mencerahkan.Pertanyaanya, adakah etika jurnalisme di negeri ini?Penulis ragu; pesimistis.

BAB II
Penyebab Keruntuhan Jurnalisme
A.    Postmodernisme
Masyarakat postmodernisme adalah masyarakat yang secara finansial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat masyarakat modern terlampaui. Artinya gejala postmodernisme muncul di berbagai belahan dunia jika masyarakatnya sudah memiliki keterpenuhan material, namun ia kering dari sudut kekayaan batin seperti dikemukakan Burhan Bungin di muka. Karena modernisme berpilarkan rasio, ilmu, dan antropomorphisme.
Dalam catatan Pauline M. Rosenau ada lima alasan mengapa terjadi krisis dalam modernisme. Pertama, modernisme dinilai tidak bisa menghadirkan kehidupan masa depan kehidupan yang lebih baik seperti yang digambar-gambarkan para penganut sejatinya. Kedua, adanya kesewenang-wenangan dalam mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk melanggengkan kekuasaan.Ketiga, banyak pertentangan tajam antara teori dan fakta dalam kaidah ilmu pengetahuan.Keempat, ilmu pengetahuan dan teknologi gagal memecahkan problematika kemanusiaan.Kelima, aspek mistis dan metafisika terabaikan karena memberi perhatian lebih kepada dimensi fisik.
Secara sederhana ajaran pokok postmodernisme terdiri dari pertama menolak universalitas.Kedua, menolak ideologi.Ketiga, menolak obyektifikasi.Keempat, mengkritik semua jenis sumber pengetahuan.Kelima, menolak metodologi yang tetap dan pasti.

B.     Cultural Studies
Futurolog Ziauddin Sardar mencatat lima karakter utama cultural studies, yaitu;
1.      Kultural bertujuan meneliti subyek masalah di sekitar praktik budaya dan hubungannya terhadap kekuasaan.
2.      Memiliki tujuan obyektif dalam memahami buadaya dan bentuk-bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks social dan politik di mana budaya itu sendiri terwujud.
3.      Obyek studi dan posisinya adalah kritismedan aksi.
4.      Berusaha membuka dan rekonsiliasi terhadap pengetahuan budaya dan bentuk obyektif pengetahuan.
5.      Memiliki komitmen pada evaluasi etnik  masyarakat social dan aksi politis barisan radikal.
Kajian cultural studies berfokus pada pesan aktual atau wacana komunikasi. Focus cultural studies adalah representasi secara atau bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasi secara sosial oleh dan kepada kita.       

BAB III
Kemunculan Jurnalisme Baru
A.    Jurnalisme dan Citizen Journalism
Sekali lagi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan kemajuan dalam salah satu aspek kehidupan manusia, khususnya dalam berbagi informasi sesame anak manusia.Melalui internet, kini, semua orang bisa menjadi wartawan. J.D. Lasica, memaparkan jurnalisme warga ke dalam lima tipe. Yaitu, situs web berita atau informasi independen, situs berita partisipatoris murni, situs media kolaboratif, bentuk lain dari media tipis, dan situs penyiaran pribadi.
Sesungguhnya yang penting dari jurnalisme warga ini adalah hasil kreasi sendiri.Yakni, tulisan yang berisi reportase, liputan, wawancara, atau opini yang dimuat dalam blog atau media pribadi.Dengan tanpa sensor seperti yang ada dalam media tradisional, tulisan jurnalisme warga lebih genuine, meski bahasa dan kata-katanya tidak seperti media tradisional yang lebih mengalir, khas, dan professional. Justru dengan bahasa apa adanya, fakta begitu telanjang. Semua orang bisa membaca dan menginterpretasikan secara jernih, tidak seperti yang berasal dari media tradisional, penuh dengan intrik, ideology, dan kepentingan.
B.     Jurnalisme dan Ideologi
Dalam ideologi terdapat tiga aspek.Yaitu, sebagai sitem kepercayaan, proyeksi social, dan relasi social. Sebagai system kepercayaan, ideologi bersemayam pada setiap individu, termasuk wartawan(reporter dan editor), semua kru redaksi, dan pemilik media.
C.    Jurnalisme dan Konvergensi Media
Konvergensi adalah perubahan teknologi, industry, budaya, dan social dalam lingkaran media termasuk di dalamnya budaya kita. Beberapa gagasan mendasar dari konvergensi antara lain konten media mengalir ke beberapa platform media yang berbeda.
Dengan teknologi internet, kini semua aspek kehidupan berawalan dengan e sebagai kependekan atau simbol dari elektronik. Dengan kata lain internet yang semula diprediksi menjadi hantu penghancur media cetak, kini justru menjadi dewa penyelamat. Media cetak yang dikonsepsi public hari ini adalah Koran dan majalah, misalnya, di era internet berubah nama menjadi e-paper dan e-magazine. Berarti digitalisasi media cetak adalah salah satu bentuk konvergensi media.
Konvergensi bukan hanya penyatuan konten-sebuah berita bisa muncul di berbagai media yang berbeda dalam satu perusahaan, tetapi juga penyatuan dalam satu  induk perusahaan media.Dengan konvergensi media, berita yang dahulu disebut mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi, kini definisi tersebut berubah menjadi peristiwa yang sedang terjadi.
D.    Jurnalisme dan Krisis Berita
Media utama harus mengubah kesetiaan pembaca dan pemirsa yang menginginkan metode pengiriman informasi yang lebih langsung. Setiap generasi penerus akan menghasilkan dan menyerap lebih banyak informasi dari pada pendahulunya. Warga makin tidak sabar dengan media yang tak bisa mengejar kecepatan yang dihendaki mereka.
E.     Jurnalisme dan Media Baru
Hubungan antara internet dan jurnalisme pasti tampaknya menjadi satu masalah.Di satu sisi kita menemukan internet menampilkan sebagai katalis jika bukan penyebab yang sangat kritis (waktu, uang, dan perubahan budaya) semua karena munculnya media baru.Pada saat yang bersamaan, internet tampaknya telah memasuki babak baru, hubungan langsung antara orang dan berita, serta antara manusia dan politik.
Pavlik (2001) menganggap internet merupakan restrukturisasi jurnalisme di empat demensi. Pertama, ia mengubah isi jurnalisme; kedua keterampilan yang diperlakukan untuk wartawan; ketiga, struktur organisasi berita dan kantor berita; dan akhirnya, hubungan antara jurnalisme dengan semua publiknya, termasuk orang-orang, dan sumber-sumbernya.
Dalam pemetaan perubahan jurnalistik, kita dapat melihat tiga tingkat yang berbeda. Yaitu,tingkat organisasi media, dimana kita bisa melacak perubahan dalam cara di mana jurnalisme diproduksi dalam lingkungan online yang lebih luas perubahan yang terjadi pada organisasi tingkat. Kedua, tingkat isi berita, dimana kita dapat mengamati perubahan dalam cara-cara yang isinya terstruktur.Terakhir, tingkat masyarakat, di mana kita dapat melihat pola pertubuhan konsumsi berita.
F.     Jurnalisme dan Pencarian Core Mining
Ada pun langkah yang harus ditempuh untuk menghasilkann makna, antara lain:
1.      Wartawan (reporter, cameramen, editor, redaktur, produser) harus mengerti isu yang ingin ditulis/diproduksi sebelum menulis berita atau apa yang dibicarakan narasumber,
2.      Membuat Lead (kepala berita) atau intro artikel yang memikat,
3.      Buatlah skala,
4.      Perluas cerita,
5.      Berilah kutipan yang menarik,
6.      Berikan latar belakang dari mana awal masalah atau apa perkembangan sebelumnya karena banyak pembaca yang pertama kali membaca berita kita,
7.      Berilah kuliah singkat dengan menerangkan sisi ilmiah,
8.      Pastikan antarparagraf tidak saling menegasikandan meninggalkan; harus ada kesinambungan,
9.      Posisikan kita sebagai pembaca jangan sebagai pembuat berita, dan jujur.
10.  Angka tidak menunjukan apa-apa,
11.  Menulis pada tataran yang teknis bukan menulis prinsip-prinsip umum yang normatif dan semua koran sama,
12.   Pastikan ada core meaning (makna inti) yang akan menghasilkan public meaning(makna untuk public) yang ingin disampaikan dalam sebuah berita yang kita buat.
13.  Cover all (multi) sides, bukan cover both sides,
14.  Baca lagi tulisan yang sudah rampung atau selesai.

G.    Jurnalisme dan Pertukaran Makna
Maka akan timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai medium. Salah satu bentuk interaksi adalah melalui bahasa tulisan dalam media cetak yang dikenal dengan nama berita. Berita yang semula merupakan fakta yang dirangkai secara pribadi dalam institusi media karena dipublikasikan melalui media cetak ia menimbulkan makna bagi orang lain. Oleh sebab itu, bahasa dalam bentuk berita tidak bebas nilai. Ia dikonstruksi dan  dan mengkonstruksi maknanya tertentu tergantung orang yang membuat dan membacanya.
Yang terpenting dari jurnalisme kontemporer bukan pada penyampaian pesan tapi pada pertukaran makna.Di tengah banjir informasi di media konvensional dan media sosial, jurnalisme madzhab pertukaran makna menjadi alternatif atau pilihan dari jurnalisme konvensional tentang penyampaian pesan (berita) dari media (komunikator) ke khalayak (komunikan).
H.    Jurnalisme Interpretatif
Ada tiga pertimbangan sebuah peristiwa menjadi berita di surat kabar, yaitu ideologis, politis, dan bisnis. Pertimbangan ideologis terjadi karena factor pemilik atau nilai-nilai yang dihayatinya.Pertimbangan politis berangkat dari kenyataan bahwa pers tidak terlepas dari kehidupan politik.Sedangkan kepentingan bisnis berkaitan dengan pemasukan dari iklan.Ketiga pertimbangan itu juga berpengaruh pada sudut pandang berita.Di sinilah kebijakan redaksinya—biasanya melalui rapat proyeksi atau bujet berita—menentukan arah sebuah berita.Makanya tidak ada berita yang netral, tuna ideologi, dan tanpa kepentingan.Sebab berita, seperti produk media lain, merupakan hasil seleksi dan rekonstruksi.
Semua yang disajikan media kepada khalayak memiliki ideologi, mengandung kepentingan, dan nilai dari lembaga dari media tersebut.Muatan ideologi dan kepentingan tersebut ditransformasi dalam bentuk berita.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subyektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatifdan represif, melainkan secara positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup objek, danritus-ritus kebenaran.Strategi kuasa tidakn bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk public yang disiplin.Public tidak dikontrol lewat kekuasaan yang bersifat fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana.
I.       Jurnalisme, Agama, dan Pertanggungjawaban
Indonesia bukan negara sekuler.Pun, tidak menganut negaraagama.Di negeri ini tidak ada agama yang diakui atau dinafikan.Semuanya boleh hidup selama menyebarkan kedamaian dan perdamaian.Semua orang boleh hidup di negeri ini dengan ketentuan mutlak mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945.
Penulis ingin menegaskan bahwa dalam konteks Indonesia, pers atau media tidak hanya bertanggung jawab untuk mentaati kode etik jurnalistik sebagai standar profesionalisme, tetapi juga harus memihak pada nilai agama yang dianutnya. Artinya, selain ada pertanggungjawaban di dunia, pekerja pers negeri ini harus meyakini bahwa mereka juga akan diminta pertanggungjawaban di akhirat, kelak. Inilah karakter sesungguhnya pers Indonesia.

Tentang penulis
Dudi Sabil Iskandar lahir di Bandung, 5 Maret 1972 dari pasangan Badrusin Saleh dan Hadiatin. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah.Menyelesaikan kuliah di Jurusan Dakwah Fakultas Usuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 1996, dengan predikat cum laude.Menyelesaikan pendidikan magister di Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Jakarta, 2012, dengan spesialis political communication.Sejak Maret 2012, menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta, dan di beberapa universitas lainnya.Selain mengajar, aktif juga sebagai peneliti di Cirus Surveyors Group (CSG), Jakarta.

Selama 12 tahun menjadi wartawan di berbagai media cetak dan online.Beliau juga menulis dan mengedit delapan buah buku.Ini adalah karya yang kesembilannya sekaligus menjadi karya intelektual pertama yang ditulisnya sendiri.